Minggu, 30 November 2008

Tulisan DR. Kartini Sjahrir



Penulis adalah Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (Partai PIB).


Perempuan di Ranah Politik

(01/11)---Perempuan dan politik adalah dua kata yang saling bertolak belakang per definisi. Akar kata perempuan adalah yang di “empu”kan. Mengandung makna dihormati, dijunjung tinggi, lemah lembut, santun dan segala sesuatu yang menunjukkan pada sikap yang halus. Sering makna ini dalam masyarakat – apakah dengan menggunakan sudut pandang agama, adat istiadat. dan sikap negara – diartikan sebagai suatu sifat yang lemah – “nrimo” (submissive) dan berada pada posisi dipinggir (peripheral).
Politik adalah wilayah laki-laki (maskulin). Wilayah ini adalah wilayah yang dicirikan dengan warna konflik, perebutan kekuasaan, agresifitas, negosiasi, superioritas dan ciri-ciri lain yang “cocok” dengan sifat laki-laki. Ciri lain yang menonjol dari ranah politik adalah penampakannya yang bersifat publik. suatu hal yang sangat membedakan dari ciri perempuan yang selalu ditempatkan di wadah domestik.Di ranah politik, keadaan tidak banyak berbeda. Betul, kita akui, saat ini ketua partai politik perempuan cukup banyak. Paling tidak ada enam orang. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Musdah Mulia dan Farida dalam buku mereka Perempuan dan Politik (2005), para pernirnpin (partai) politik ini masuk ke kancah politik karena di-back up oleh nama (besar) orangtua atau suami. Tentu hal ini bisa saja diperdebatkan, yang tidak akan dipungkiri di sini adalah dominannya sifat patriarki di masyarakat pada umumnya. Sehingga pembenaran dari seorang perempuan menjadi pemimpin politik, selalu dikaitkan dengan keberadaan figur lelaki di belakangnya.Bhutto dan IndiraDalam perjalanan sejarahnya, sifat patriarki ini acap “conflicting” di dalam dirinya. Sebagai contoh adalah fenomena Benazir Bhutto (alm). Benazir muncul sebagai figur politik yang diperhitungkan karena ayahnya, Bhutto. Akan tetapi Zardari, suaminya, terpilih sebagai presiden Pakistan baru-baru ini adalah karena figur Benazir, seorang perempuan.Demikian pula halnya dengan Indira Gandhi. Nama besar Nehru, yang membawa ia melejit dalam kancah perpolitikan, India. India, seperti halnya Pakistan, adalah Negara yang sangat “maskulin” dimana perpaduan tradisi dan agama telah menempatkan wanita pada posisi terpinggirkan. Begitupun, seorang Benazir maupun Indira membuat masyarakat patriarki (maskulin) tadi menerima keberadaan mereka karena sikap “maskulin” yang mereka tunjukkan. Indira, yang juga mati terbunuh, digantikan puteranya Rajiv yang muncul di bawah bayang-bayang nama besar ibunya.Di sini terlihat, Benazir dengan kemampuannya berhasil keluar dari bayang-bayang dan “cengkraman” sifat politik yang patriarki tadi, seperti halnya telah ditunjukkan Indira Gandhi, Corazon Aquino, dan atau Bandaranaike dari Srilanka.Sejumlah pemimpin dan pejuang politik perempuan seperti Cut Nyak Dien dari Aceh (1848-1908) adalah seorang figur politik yang muncul bukan karena bayang-bayang nama besar suami, meski suaminya seorang yang bernama Teuku Umar, ia telah muncul dan dikenal di Aceh jauh sebelum menikah dengan Teuku Umar. Sebalikya, Teuku Umar justru jatuh cinta kepada Cut Nyak Dien karena kepiawaiannya berjuang melawan Belanda.Kita juga mengenal kisah perempuan luar biasa bernama Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah. Nabi menjulukinya Humaira–sang jelita dengan pipi merah– (Kurniasih, 2008). Mengapa Aisyah luar biasa? Sejarah mengakui bahwa Ummul Mukminin yang satu ini adalah seorang Al-Mukatsirin, cerdas, mengerti politik, dan ahli strategi perang di masa itu.Seperti halnya Cut Nyak Dien, sejumlah perempuan di belahan bumi lainnya terjun ke dan memilih politik sebagai karir profesional mereka. Sebut saja mantan Perdana Menteri Inggris yang ternama Margareth Teatcher, Golda Meir yang legendaris dari Israel, Condoleza Rice dari Amerika dan barangkali dalam waktu dekat (kalau menang) pada Pemilu November 2008 ini, Sarah Palin menjadi Wakil Presiden Amerika Serikat. Sekarang ia adalah Gubernur Alaska.Kepala DaerahMeskipun Studi Mulia (2005), misalnya, menunjukkan di era reformasi tahun 2004, partisipasi perempuan dalam lembaga parlemen menurun dibandingkan dengan tahun 1997 – dari 12,5 persen menjadi 9 persen. Tetapi indikasi melalui Pilkada menunjukkan hal yang agak bertolak belakang. Setidaknya tercatat sekitar 64 orang perempuan yang maju dan mencalonkan diri apakah sebagai Cagub/Cawagub. Cabup/Cawabup, atau Cawakot/Calon Wawakot. Artinya, ada 17,2 persen perempuan yang jadi calon pemimpin eksekutif mewakili 373 Pilkada Provinsi, Kabupaten/Kota (data s/d Juli 2008). Bila dilihat dari tingkat kemenangan yang diperoleh perempuan, angka ini bisa lebih tinggi lagi mencapai 31,3 persen! Jangan lupa, kita pernah punya presiden perempuan Megawati Soekarnoputeri dan sejumlah kepala daerah perempuan.Dari sudut Pilkada, aspirasi dan aktualisasi perempuan di ranah politik praktis meningkat. Hal seperti ini tentunya menarik untuk dicermati oleh mereka yang bergelut dalam studi kajian wanita.Pada saat yang sama, kita melihat. upaya memberdayakan dan memperkuat partisipasi perempuan dalam kancah politik mendorong pemerintah/negara melalui UU Republik Indonesia No. 10 Tahun 2008 pasal 57, ayat I, 2 dan 3, mewajibkan partai-partai politik (Parpol) agar menyertakan 30 persen perempuan sebagai persyaratan adminislrasi bakal calon anggota DPR/DPRD tanpa memenuhi persentasi keterwakilan tersebut di atas, maka porpol tidak akan diluluskan dalam verifikasi faktual.Apa moral cerita yang hendak disampaikan disini? Yang ingin disampaikan adalah bahwa bagi kaum perempuan Indonesia semua lapangan kerja profesional sesungguhnya terbuka lebar untuk dimasuki. Dengan suatu catatan, kaum perempuan itu sendiri dan dalam dirinya memang bersedia dan mau keluar dari “kungkungan patriarki” yang dibentuk oleh masyarakatnya dan balikan oleh dirinya sendiri.


DR. Kartini Sjahrir
Penulis adalah Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (Partai PIB).

Tidak ada komentar: